KOTA BEKASI – Lembaga Investigasi Anggaran Publik (LINAP) mempertanyakan tipping fee yang harus dibayar Pemerintah Kota Bekasi terkait wacana proyek strategis nasional Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Sumur Batu di Bantargebang.
“Pemkot Bekasi melalui dinas terkait harus memberi kejelasan mulai dari sumber anggaran hingga landasan hukum dalam mekanisme pembayaran Tipping fee pada wacana proyek PSEL itu,”tegas Baskoro Ketua Umum LINAP dilansir dari wawainews.id, Kamis 2 November 2023.
Pasalnya tegas Baskoro, proyek PSEL di Bantargebang itu terkesan sangat dipaksakan. Sehingga banyak aturan yang ada di dalam mekanisme sesuai Peraturan Wali (Perwal) Kota itu yang ditabrak hanya untuk meloloskan proyek dengan nilai investasi mencapai Rp1,6 triliun.
Menurutnya proyek PSEL itu selama ini di framing bahwa mampu melakukan pembakaran sampah mencapai 800 ton sehari. Pertanyaannya sampah dari mana 800 ton perhari itu, apakah dari Kota Bekasi?
Tipping fee adalah bea gerbang yang dibayarkan pemerintah kepada pihak pengolah sampah. Disitu dijelaskan pemerintah akan membayar Rp405 ribu per ton perhari kepada investor PSEL, setelah ada perjanjian kerja sama.
“Maka tinggal kali kan saja sehari sampah yang diolah 800 ton, dikali Rp405 ribu/ton bisa ketemu Rp360 jutaan sehari yang harus dibayarkan pemerintah,”ungkapnya mempertanyakan uang dari mana.
Sementara sampah sebagai aset daerah yang dikumpulkan oleh pemerintah Kota Bekasi dengan biaya APBD kemudian diserahkan ke PSEL untuk dibakar kemudian dijadikan bahan pembangkit listrik.
Tapi saat ditanya ke instansi terkait Kota Bekasi, dapat apa dari olahan sampah melalui PSEL itu, dijawab tidak mendapatkan apapun meski sudah membayar sehari ratusan juta.
“Makanya, LINAP dari awal diumumkan penunjukan pemenang lelang Proyek PSEL yang ditandatangan Tri Adhianto sebelum lengser sebagai Wali Kota Bekasi menyoroti bahwa perlu kajian ulang karena banyak yang aneh dengan wacana proyek tersebut,”tegasnya lagi.
Menurut dia, sangat jelas ada indikasi terburu-buru tanpa ada kajian mendasar melibatkan banyak pihak dalam penetapan yang dilakukan. Harusnya jelas Baskoro kerja sama yang baik itu harus fair dan pemerintah bisa memberikan informasi kepada warga terkait mekanisme PSEL itu secara terbuka.
Apalagi, paparnya proyek itu ditandatangi Tri sehari sebelum lengser. Analisa gampangnya siapapun yang ditunjuk menang terkait wacana PSEL tersebut maka dokumen itu akan menjadi acuan kerja sama seterusnya.
Padahal diketahui sampai saat ini lahan untuk lokasi PSEL itu sendiri masih menjadi pertanyaan akan keberadaan lokasi lahan seluas 5 hektar untuk lokasi bangunan dan mesin pengolahan sampah jadi energi listrik tersebut.
Untuk diketahui bahwa lokasi lahan yang harus disediakan investor menjadi landasan utama bagi pihak yang ditunjuk. Setidaknya sudah harus memiliki akte jual beli sebagai dokumen atau setidaknya setelah pihak peserta lelang yang ditunjuk dipastikan menang bisa langsung membayar.
“Lahan untuk tempat PSEL itu sekarang, pastinya di mana. Kan ga ada yang tahu lahannya dimana dan harganya berapa. Tapi saat ditanya katanya ada, tapi hasil observasi tim di kelurahan atau pun di UPTD LH Sumur Batu tidak diketahui lokasi lahanya,”tegas Baskoro.(jar)